Kenangan Alor NTT
Sudah tiga tahun saya meninggalkan Alor – NTT (bukan alornya Malay!!) dan kembali ke Jakarta. Tadinya setelah saya kembali ke Jakarta saya akan menulis semua eksplorasi saya selama di sana. Saya putuskan untuk menundanya. Mengetes kalau saya masih ingat semua tentang Alor. Ternyata memang kenangan Alor memang sulit dilupakan. Dan berikut sedikit cerita selama eksplorasi saya di Kabupaten Alor (pulau Alor, pulau Pantar dan beberapa pulau kecil seperti Ternate).
Alor, merupakan sebuah kabupaten paling timur di provinsi NTT. Untuk mencapainya dapat ditempuh melalui laut yakni menggunakan Kapal Sirimau yang mengelilingi Nusa Tenggara dan Ambon dari Jakarta, atau dapat menggunakan pesawat udara. Saya memilih jalur udara karena saat menuju Alor cuaca tidak memungkinkan untuk menggunakan kapal laut. Untuk landing di Bandara Mali Alor melalui Bandara El Tari Kupang dapat menggunakan pesawat jenis baling-baling ATR-42 dari maskapai TriganaAir 5x seminggu dengan tarif sekitar 400rb.
Ibukota Kabupaten Alor adalah Kalabahi. Pemilihan Kalabahi menjadi ibu kota karena daerah Kalabahi lebih luas datarannya daripada daerah lainnya. Dulu ibu kota Alor pada jaman belanda adalah Alor Kecil. Letaknya di dataran paling barat pulau Alor. Dulu di sana dijadikan pelabuhan, pusat ekonomi dan pusat pemerintahan. Tidak heran jika di daerah tersebut tersisa peninggalan-peninggalan seperti: Pantai Makassar, Kampung Bajo atau Tionghoa asli Alor.
Keadaan Alam
Kabupaten Alor berbentuk kepulauan. Dataran umumnya didominasi oleh bukit-bukit batu kapur. Bayangkan saja lepas dari pantai disambut dataran berjarak beberapa meter lalu disambut bukit yang menjulang. Tidak jauh berbeda dengan tanah Timor, pulau-pulau di Alor umumnya memiliki jenis tanah keras sedikit liat dan berwarna kemerahan, selain batu kapur tentunya. Ada sedikit joke dari warga asli Alor “Tuhan itu menciptakan Alor mungkin dari sisa-sisa tanah di dunia. Lihatlah, misalnya, Jawa yang subur dan Papua yang rimbun. Ketika menciptakan Alor, tanah tersebut sudah habis. Jadilah begini” Sedih juga,.. Gersang? Yah begitulah tetapi masih lebih baik daripada Timor. Udaranyapun lebih lembab. Parahnya musim hujan di Alor hanya dalam (maksimal) tiga bulan. Sehingga untuk bercocok tanam kurang berhasil. Hasil pertanian dan kebun utama dari Alor adalah Kenari, Kayu Putih, Asam Jawa, Cengkeh, Kemiri, dan Vanili. Itulah sebabnya Alor mendapat julukan Alor Nusa Kenari. Herannya, meskipun kemiri menjadi andalan Alor, tapi masyarakatnya jarang menggunakan bumbu masak ini sehari-hari.
Jangan harap dapat menemukan sayur dan buah yang melimpah. Selama saya di sana sayuran paling nikmat adalah sawi hijau (caisim)! Selin itu saya (terpaksa) makan daun pepaya, singkong dan si pahit daun kelor! Alamak! Bagaimana dengan sayuran yang lain seperti wortel, buncis, kacang polong, kentang dll? Yah ada tetapi sulit didapat dan harganya pun mahal.
Pun ketika saya berada di kecamatan tertinggi di atas permukaan laut Alor, yaitu kecamatan Alor Selatan, saya pikir saya akan menemukan begitu lebatnya hutan di sana. Begitu suburnya sayuran dan buah-buahan yang tumbuh. Ternyata tidak demikian. Lagi-lagi masalah tanah yang tidak cocok. Adapun perikanan air tawar juga tidak bisa dilakukan di semua wilayah dikarenakan air yang begitu sulit didapat. Jangankan untuk membuat kolam ikan, untuk mandipun di musim kemarau tidak dilakukan oleh penduduk. Sayapun membiasakan diri dengan mandi pakai tisu basah.
Dan beruntunglah desa-desa yang berada di pinggir pantai karena umumnya lebih gampang mendapatkan air bersih. Seperti di Kecamatan Alor Barat Daya, pantai yang didominasi oleh batu kali di pinggir pantainya ternyata berguna sebagai penyuling alami air laut. Dalam keadaaan darurat kehabisan air tawar, jarak dua meter saja dari bibir pantai kita bisa menggali bebatuan dan menemukan air tawar dari hasil aliran air laut. Dan sudah tawar tentunya. Subhanallah!
Transportasi Alor
Sebelum ke Alor, saya sempat diberitahu kalau mau bepergian ke Alor menggunakan panzer. Saya pikir panzer yang dimaksud adalah kendaraan tank perang dari TNI. Nyatanya yang dimaksud dengan panzer adalah kendaraan off road seperti Hard Top, yang bagian belakangnya dibongkar sehingga menyerupai bak. Kendaraan yang seyogyanya menampung 4-7 penumpang ini secara de facto mengangkut 23 orang yang dijejali di bagian belakang mobil dengan kondisi berdiri atau bergelantungan! Belum lagi ditambah oleh barang-barang yang memenuhi kap mobil dan bagian penumpang. Ini sungguh terjadi pada saya. Pengalaman super-duper-extreme menjelajah pegunungan.
Saya bersama rombongan berjumlah 10 orang ditambah 5 personel TNI dan beberapa penumpang lain beserta hewan piaraannya sama-sama dijebloskan ke dalam tempat yang sempit berukuran sekitar 1.5×2m, Edan! Janji sopir panzer yang mengatakan cuma mengangkut 15 orang saja ternyata dusta. Tidak ada pilihan lain karena angkutan umum paling biadab ini terbatas dan tidak ada penggantinya dengan angkutan lain. Praktis mobilitas masyarakat sangat terbatas. Perekonomian juga kurang bergairah. Hasil bumi sulit dipasarkan ke kota. Barang dagang yang masuk ke desa-desa harganya menjulang tinggi.
Anugrah Alloh Untuk Alor
Meskipun keadaan alam yang berbukit-bukit, sampai-sampai untuk menuju ke suatu kecamatan dari kecamatan lain dibutuhan waktu tempuh sampai 7 jam, Alor memiliki keindahan alam yaitu laut! Dengan wilayah laut yang lebih banyak daripada daratan memiliki keuntungan tersendiri. Misalnya harga ikan sangat murah! Pernah teman membeli ikan segar dari hasil tangkapan nelayan. Karena sistem jual-beli di sini tidak menggunakan istilah ‘kiloan‘ dan mengenal istilah ‘tumpukan‘ maka teman berniat membeli ikan kembung dengan menggunakan istilah ‘nominal uang’ biar gak ribet. Kaget setengah mati, dengan uang 10rb dapet ikan kembung satu baskom besar, bisa untuk makan 15 orang selama dua hari, dengan sekali jadwal makan bisa ngembat 5-10 ekor ikan per orang. Itung aja sendiri berapa banyaknya!
Selain bisa pesta makan ikan setiap saat, dengan laut yang indah bisa memberikan kegiatan-kegiatan yang lebih banyak maanfaatnya daripada mudharatnya hehehe… Misalnya bengong menatap sunset sambil berdecak kagum atas keindahan yang diberikan Alloh. Olahraga air seperti renang dan dayun pun jadi aktivitas rutin di pagi hari. Selain itu di Alor terdapat beberapa spot yang bagus untuk diving dan snorkelling seperti Pantai Makassar dan Pulau Keppa. Sayangnya selama disana saya gak kesampaian untuk melakukan olahraga itu karena padatnya acara, kemahalan harganya, sampai pas benar-benar niat mau diving malah gak diladeni petugas karena bule-bule oztrali sedang berkunjung ke Alor dalam rangka Sail Indonesia 2007.
Kurangnya Kreatifitas
Kira-kira seminggu sebelum meninggalkan Alor untuk melanjutkan perjalanan ke Kupang, di Alor terdapat hajatan besar untuk menyambut tamu-tamu dari Oz itu dengan tajuk Alor Expo. Sempat ragu karena daerah kecil itu apa bisa membuat hajatan besar selevel internasional? Ternyata yah memang sedikit dipaksakan.
Menginjakkan kaki di Kalabahi melalui pelabuhannya mungkin sudah sedikit terjawab. Dermaga yang kecil, kurang fasilitas dan sedikit kumuh jadi ucapan selamat datang buat bule2 Oz. Rangkaian acara Alor Expo yang menampilkan kreatifitas warga juga maksa banget. Tahun ini Alor Expo mengambil tema tentang bambu. Bambu dengan kualitas baik ternyata tidak mudah dijumpai di semua penjuru Alor. Hanya kecamatan Alor Selatan saja yang melimpah akan bambu. Nah tiap kecamatan dipaksa untuk menampilkan kreatifitasnya dari bambu untuk di pamerkan di stan per kecamatan, selain kreatifitas atau hasil unggulan kecamatan seperti kain tenun atau makanan olahan. Bayangkan saja frame poto tidak layak jual yang terbuat dari bambu furnish seadanya dijual setara dengan sebuah selendang tenun dengan kualitas “bagus banget” yaitu 100rb aja!
Kurangnya pengetahuan kerajianan tangan. Kurangnya pembinaan masyarakat. Begitulah mungkin penyebabnya. Dan ternyata di kabupaten ini tidak terdapat gallery atau koperasi pengrajin. Dulu setelah gempa 2004 di Alor, Ibu Any Yudhoyono pernah merintis sebuah koperasi pengrajin kain tenun. Tetapi saat ini tidak berkembang. Entah mengapa. Padahal kualitas tenun sudah cukup baik.
Sosial dan Budaya
Orang Alor semuanya baik-baik meskipun bertampang sangar-sangar, gak cewek maupun cowok. Murah senyum dan polos! Dominasi penduduk beragama Kristen. Katholik dan Islam merupakan agama kedua terbanyak yang dianut di Alor. Tetapi hidup meskipun berbeda agama dapat hidup berdampingan dengan rukun. Bisa demikian karena mereka menganggap satu rumpun. Apalagi pada saat jaman PKI, orang Alor banyak yang belum beragama, dan karena takutnya operasi PKI, maka banyak yang memilih agama masing-masing. Ada yang memilih Kristen, Khatolik dan Islam. Satu keluarga bisa berbeda-beda keyakinan. Tetapi hebatnya sekali lagi hidup dengan rukun, berbeda dengan daerah-daerah lainnya di NTT yang terkadang rusuh karena dipucu oleh masalah agama.
Saking rukunnya toleransi antar umat beragama sesuai Pancasila dapat ditemukan disini. Misalnya saat pembangunan masjid, yang ikut bergotong royong tidak hanya muslim tetapi nasrani pun ikut membantu. Begitu juga misalnya ada slametan di gereja, muslimpun diundang. Perayaan lebaran, yang jadi tukang masak biasanya para tetangga nasrani. Sebaliknya demikian untuk perayaan natal. heran kan? Terlalu bertoleransi yah?
Mungkin benar! Tapi lagi-lagi saya terherman-herman saat adanya pesta syukuran kecamatan. Orang Alor memang doyan pesta. Begitu juga ketika saya mau meninggalkan kecamatan Alor Selatan untuk eksplorasi ke kecamatan berikutnya, maka si Ibu Camat memutuskan untuk bikin pesta. Karena di kecamatan itu didominasi nasrani maka santapan utama adalah babi! Alhamdulillah mereka mengerti kalau babi diharamkan bagi saya. Mereka tahu, karena mereka belajar dari muslim. Untuk menghormati saya dan teman-teman muslim lain maka mereka menyerahkan 3 ekor ayam untuk dimasak. Masih hidup?? Yah masih, karena mereka tahu untuk menyembelih dibutuhkan ucapan pengantar kematian bagia ayam ‘bismillahirrohmanirrohiim‘ dan mesti menghadap kiblat. Mereka pun tahu kalau memasak babi tidak boleh dalam satu wajan. Maka proses memasak ayampun terpisah. Bagaimana dengan peralatan dan penyajiannya? Yang ingin menyantap babi ternyata diberikan ruangan tersendiri. Piringpun dari rotan beralaskan kertas plastik. Sehingga najispun tidak menodai piring.
Selama disana juga saya mempelajari adab, kebiasaan orang Alor. Untuk masalah makan, biasanya hanya terjadi dua kali sehari: siang dan malam. Pagi hari tidak ada makan pagi, cuma minum teh/kopi dan makan camilan. Makanpun harus bersama-sama setelah semua siap. Nambah beberapa piring justru dianjurkan, karena semakin banyak kita makan si koki semakin senang. Tidak boleh meletakkan piring ke meja dari pangkuan selama masih ada yang makan, karena dianggap tidak menghormati napsu orang yang sedang makan, jadi mesti disiasati lama mengunyah makanan. Untuk minum biasanya setelah semua meletakkan piring kita boleh meneguk air.
Satu hal yang menarik,.. selama saya di Alor saya merasa Bahasa Indonesia sungguh-sungguh benar-benar diterapkan sebagai bahasa persatuan. Dengan bahasa daerah yang mencapai lebih dari 15 jenis, sampai-sampai satu desa bisa memiliki 3 bahasa daerah yang sangat amat jauh berbeda diantaranya, praktis dibutuhkan suatu bahasa agar dapat saling berkomunikasi. Yah itulah bahasa Indonesia! Semua bisa berbahasa Indonesia. Tidak tua maupun muda, yang sekolah ataupun tidak pernah sekolah. Bandingkan ketika kita berkunjung ke tanah Jawa (tengah dan timur), orang-orang tua kebanyakan tidak bisa berbahasa Indonesia. Pergi kemana-mana bahasa sehari-hari menggunakan bahasa Jawa.
Ada juga tradisi yang rada nyeleneh. Yaitu tradisi pemberian mahar kepada calon mempelai wanita. Kalau di beberapa daerah di NTT lainnya, mahar berupa babi hutan. Kalau di Alor mahar adalah Moko. Moko merupakan nekara perunggu berbentuk menyerupai tabung gendang, yang diseluruh permukaannya terdapat relief ukiran zaman prasejarah. Masyarakat percaya kalau moko didapat secara gaib, yaitu muncul kepermukaan dari tanah terpendam. Dulu digunakan oleh prajurit dalam berperang, yaitu ditabuh sebagai penyemangat perang. Seiring waktu Moko dijadikan sebagai mahar. Kalau diuangkan sebuah Moko yang cuma segitu kecilnya dan tidak begitu banyak manfaatnya malah bernilai jutaan, 5jt tepatnya! Gimana kalau keluarga mempelai pria gak punya Moko? Yah mesti pinjam dari tetua yang punya karena untuk mendapatkan Moko itu tidak mudah. Istilah pinjam disini bukan gratis, tetap saja bayar jutaan. Ada juga sih yang imitasian, bisa terbuat dari bambu, kayu, maupun perunggu juga tapi kualitasnya tidak sebagus dari jaman peninggalan. Seiring waktu juga mahar menggunakan Moko sudah agak jarang digunakan, terlebih bagi keluarga muslim. Biasanya yah digantikan dengan mahar uang ataupun seperangkat alat shalat. Bagimanapun juga ini adalah budaya kita. Budaya Indonesia! - alle's blog